Review: Carrie (2013)

Carrie (2013)
Disutradari Kimberly Pierce
Ditulis Lawrence D. Cohen dan Roberto Aguirre-Sacasa
Dibintangi Chloë Grace Moretz, Julianne Moore,
Gabriella Wilde, Portia Doubleday dan Ansel Elgort
Produksi ScreenGems

Carrie merupakan remake dari film tahun 1976 karya Brian DePalma yang diadaptasi dari novel pertamanya Stephen King. Hingga saat ini, film tersebut merupakan salah satu film horor terbaik yang pernah saya tonton. Terbilang baru di masanya, DePalma menunjukkan bakatnya sebagai sutradara yang piawai, menghasilkan visual-visual ikonik yang tak lekang dimakan zaman. Sissy Spacek dan Piper Laurie, sebagai Carrie dan Margaret White, memberikan performa yang sama memukaunya sehingga keduanya mendapatkan nominasi Oscar (sesuatu yang sangat jarang bagi film horor sampai sekarang). Berdasarkan semua prestasi yang berhasil diraihnya, berharap film ini bisa mencapai level tersebut adalah hal yang muluk, jadi bagi saya, syukur apabila ia sudah bisa menjadi tontonan yang menghibur.

Carrie dimulai dengan adegan yang cukup kuat di mana Margaret White (Moore), seorang Kristen yang taat, melahirkan bayi di rumahnya tanpa bantuan siapa pun. Dari adegan ini, sudah terlihat bahwa Moore, sebagaimana dia di film-film lain, memberikan dirinya sepenuhnya kepada aktingnya. Apabila di film aslinya Laurie memainkan Margaret seperti karikatur (jangan salah, bagi saya itu salah satu alasan mengapa penampilannya luar biasa), Moore memilih jalur yang bertolak belakang dan lebih menjangkar Margaret ke bumi. Ada kehalusan dan jauh lebih banyak nuansa dalam penampilannya. Baik Margaret-nya Laurie atau pun Moore akan sama-sama menakutkan bagi saya, tapi dasarnya adalah alasan yang berbeda. Tidak ada yang lebih bagus karena keduanya tidak bisa dibandingkan.

Setelah adegan pembuka yang kuat itu, film dilanjutkan dengan kisah Carrie pada tahun akhirnya di masa SMA. Suatu hari ketika mandi barsama sehabis pelajaran olah raga, Carrie mendapatkan haid pertamanya dan mengira dirinya kehabisan darah sehingga dia menjerit-jerit meminta pertolongan. Alih-alih membantu, teman-temannya malah menertawainya dan melemparinya dengan pembalut. Tingkah ini membuat mereka semua diskors, dan Chris Hargenson (Doubleday), queen bee sekolah yang juga terkena hukuman menyusun sebuah rencana jahat untuk membalas dendam kepada Carrie di malam prom. Sue Snell (Wilde), yang tak tahu menahu tentang rencana itu, meminta pacarnya, Tomy Ross (Elgort) untuk mengajak Carrie ke prom karena dia merasa bersalah--tanpa sadar menggiring Carrie ke dalam perangkap yang tersedia.

Kali ini, Carrie dibintangi oleh Chloe Grace Moretz. Siapa pun yang mengatakan Moretz adalah sebuah miscast, saya setuju dengan mereka. Ini bukan masalah cantik. Kepribadian Moretz sebagai seorang individual memengaruhi karakterisasi Carrie dan membawanya ke teritori yang berbeda dengan versi aslinya. Apabila Carrie yang diperankan Spacek tidak memiliki kepercayadirian sama sekali karena siksaan yang dideritanya selama bertahun-tahun, Carrie dalam versi ini sudah berada pada tahap di mana dia berani memberontak, sehingga menaruh sebagian pengembangan karakternya di latar belakang. Hal ini didasari oleh tingkat kedewasaan Moretz yang belum cukup memadai. Spacek, yang dalam pembuatan film aslinya sudah berkepala dua, berada pada tahap di mana dia cukup mengenali dirinya sendiri sehingga sanggup membawa elemen-elemen dari luar dirinya yang sesuai dengan tokoh Carrie, sementara Moretz yang usianya belasan dan belum memiliki banyak pengalaman duniawi hanya mampu meraih Carrie sepemahamannya saja. Ini juga membuat penampilannya menjadi sedikit terlalu di permukaan. Setiap tundukan, setiap bungkukan, semuanya terasa seperti hasil baca Moretz tentang "Apa itu gadis pemalu?" dibandingkan sebuah penjiwaan yang utuh. Saya jadi membayangkan apa jadinya jika Carrie dibawakan oleh aktris lain. Saoirse Ronan dan Mia Wasikowska, misalnya. Hm... such a missed opportunity.


Di sisi lain, para pemeran pendukungnya bekerja dengan cukup baik. Jika dibandingkan dengan film aslinya, Ansel Elgort (pre-Baby Driver fame) memberikan pesona yang hampir sekuat William Katt sebagai Tommy Ross, dan siapa yang tidak suka dengan Judy Greer? Kehadirannya di peran-peran kecil selalu memberikan sentuhan akhir yang manis, sama halnya dengan perannya sebagai Mrs. Desjardin di sini, sang guru olah raga yang bersimpati kepada Carrie. Hanya Gabriella Wilde yang tidak berhasil mencapai keluwesan Amy Irving dalam memainkan Sue Snell, tetapi dia pun masih cukup kompeten. Hal ini dapat dicapai juga karena para tokoh pendukung tersebut ditulis dengan lebih baik. Sebagai contoh, tokoh Chris sang perundung utama jauh lebih berdimensi dibandingkan film aslinya (sayang Doubleday agak sedikit berlebihan dalam memerankannya). Kepribadian jahat Billy Nolan, kekasihnya Chris, pun jauh lebih realistis dan 'kasar' di sini, menjadikannya presensi yang cukup mengancam tak jauh berbeda dari Henry Bowers di remake-nya It.

Dari struktur cerita, saya malah merasa bahwa film ini justru lebih menyerupai film aslinya dibanding novelnya meskipun Pierce mengatakan sebaliknya. Beberapa adegan yang tidak pernah muncul di novel hadir lagi di sini, dan film ini mengikuti beat-beat sama yang dimiliki karya DePalma tersebut. Saya sempat dengar bahwa sebelumnya ada adegan-adegan pengadilan yang kurang lebih membingkai keseluruhan film tetapi pada akhirnya mereka putuskan untuk potong--mungkin itu yang dimaksud Pierce tentang keakuratan film ini dengan novelnya karena di novelnya, adegan serupa juga ada. Omong-omong soal pemotongan, meskipun secara keseluruhan film ini terasa cukup komplit, saya percaya bahwa beberapa menit ekstra akan menguatkan film ini. Penghancuran kota misalnya, yang menjadi bagian yang cukup besar di novelnya, ternyata tidak ada di sini meskipun muncul di teaser. Jika ada sesuatu yang bisa dikembangkan ketika membuat remake film horor, hal itu adalah elemen horornya. Jangan me-remake film horor jika kamu tidak mau membuatnya lebih tragis, sadis dan semacamnya, apalagi tanpa tujuan tertentu.

Dan omong-omong soal elemen horor, adegan klimaks di film ini tidak cukup memuaskan. Menurut saya, Pierce gagal dalam membangun suspense sebelum darah babi ditumpahkan ke Carrie, yang pada akhirnya, melemahkan dampaknya. Ada kemungkinan saya bias dengan ingatan saya tentang adegan yang sama di film aslinya karena bagi saya, DePalma jauh lebih sukses dalam memunculkan kecemasan melalui efek slow-motion, gubahan musik yang membuat tegang, dan pemotongan shot yang dia pilih. Sementara di sisi lain, saya tidak sanggup mengingat pilihan-pilihan yang dibuat Pierce sebagaimana saya mengingat pilihan-pilihan DePalma (mungkin pengulangan shot tumpahnya darah sebanyak tiga kali, tapi bahkan menurut saya itu berlebihan). Untuk adegan kehancuran prom setelahnya, kedua film memiliki kelebihannya masing-masing. Tentu saja, dalam kasus film aslinya, ia lebih memiliki style dengan efek split screen dan komposisi shot-nya, sementara versi remake-nya sangat menyenangkan dan cukup brutal untuk memuaskan para penggemar film horor di luar sana.

Last verdict: Secara keseluruhan, Pierce memberikan film yang cukup padat dengan penampilan akting yang kuat. Jujur, saya merasa para kritikus dan fans sedikit terlalu jahat menilainya. Film ini terasa cukup tidak berguna, tetapi saya tidak akan pernah menyesal untuk menonton. Terakhir, versi 1976 masih menjadi yang terbaik dari semua versi yang ada. 7/10.

Komentar

Postingan Populer