Review: Ada Apa Dengan Cinta? (2002)
Contoh Konkret dari Istilah 'Klasik'
Ditulis oleh Kurnia Cahya Putra
Ada Apa Dengan Cinta? (2002)
Disutradari Rudi Soedjarwo
Dibintangi Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra
Copyright Miles Films 2002
"Lo mau diwawancara sekarang? Basi, madingnya udah siap terbit!" -Cinta
Bertemakan cinta di masa SMA, Ada Apa dengan Cinta? mengisahkan Cinta (Dian Sastrowardoyo), ketua pengurus mading yang populer, dan Rangga (Nicholas Saputra), anak lelaki yang pendiam dan 'kuper', yang jatuh cinta dengan satu sama lain meskipun memiliki kepribadian yang bertolak belakang. Cerita diawali dengan pengumuman lomba puisi tahunan di sekolah mereka, di mana Rangga dinobatkan sebagai pemenang meskipun hampir semua anak menyorakkan nama Cinta karena mereka yakin gadis itu akan menang. Ketika Rangga tidak muncul untuk mengklaim titelnya, Cinta ditugaskan mewawancarainya untuk keperluan mading. Begitu mendapat respon yang dingin darinya ketika menemuinya di perpustakaan, Cinta yang kembali dengan tangan kosong menggerutu pada teman-teman segengnya; Alya (Ladya Cheryl), Milly (Sissy Priscilla), Karmen (Adinia Wirasti), dan Maura (Titi Kamal), di ruang mading dan menulis di 'buku curhat' bahwa Rangga adalah 'cowok yang nyebelin, yang perlu dijauhin'. Yang Cinta tak sadari adalah ini hanya permulaan dari ceritanya dengan Rangga yang nantinya akan mengubah hidupnya serta perspektifnya tentang persahabatan dan siapa dirinya sebagai seorang individu.
Tidak akan berlebihan apabila Ada Apa dengan Cinta? dikatakan sebagai salah satu film Indonesia terbaik yang pernah ada. Bahkan secara pribadi, saya berani bilang bahwa ini yang terbaik. Mungkin saya saja yang kurang bersantap produk layar perak negeri, tapi sampai sekarang, saya memang belum pernah menemukan karya anak bangsa yang hampir semua elemen di dalamnya bekerja sebaik ini. Sebuah contoh konkret dari 'klasik', bisa dibilang. Penyutradaraan, penulisan, akting, musik, semuanya memiliki kemasan yang apik, tapi tak lupa juga dilengkapi dengan isi yang 'bergizi'.
Dian Sastrowardoyo memberikan performa terbaik dalam karirnya (yang sampai sekarang masih belum dilampaui kiprahnya dalam film lain) di sini. Dia natural, meyakinkan, dan yang terpenting, subtle (kata yang masih saya belum temukan padanannya di Bahasa Indonesia). Hal ini dibantu secara besar oleh naskah karya Prima Rusdi, Jujur Prananto, dan Rako Prijanto yang berhasil menggambarkan kehidupan remaja secara realistis melalui dialognya yang renyah (beberapa menyentil kondisi politik Indonesia pada saat itu), situasi yang dapat ditemui sehari-hari, dan penokohan yang cukup kuat. Sebagai seseorang di ambang akhir masa remajanya, saya bisa memosisikan diri saya pada diri Cinta dan teman-temannya (Rangga tidak terlalu karena dia lebih merupakan sebuah versi ideal dibanding tokoh yang nyata bagi saya) ketika mereka menghadapi masalah-masalah mereka dengan emosi yang belum sepenuhnya stabil dan pemikiran yang bertendensi untuk memperbesar hal di luar proporsi.
Tak hanya itu, konflik yang muncul pun mampu menggugah tanpa perlu kelewat dramatis (layaknya kanker stadium 4 atau cinta segitiga dalam film remaja tipikal), dan ini datang terutama, dan menariknya, bukan dari percintaan Cinta dan Rangga, tapi kehidupan rumah Alya yang dipenuhi dengan pertengkaran dan kekerasan (baik verbal maupun fisik). Kita tak pernah melihat peristiwanya terjadi secara langsung. Kita tak perlu. Kita bisa merasakannya hanya dengan mendengarkan curhatan putus asa Alya atau melihat gerak-geriknya yang minim dan penuh keraguan. Hal ini juga diamplifikasi oleh penampilan Ladya Cheryl yang sama, jika tidak lebih memukaunya dari Dian Sastrowardoyo.
Tak hanya itu, konflik yang muncul pun mampu menggugah tanpa perlu kelewat dramatis (layaknya kanker stadium 4 atau cinta segitiga dalam film remaja tipikal), dan ini datang terutama, dan menariknya, bukan dari percintaan Cinta dan Rangga, tapi kehidupan rumah Alya yang dipenuhi dengan pertengkaran dan kekerasan (baik verbal maupun fisik). Kita tak pernah melihat peristiwanya terjadi secara langsung. Kita tak perlu. Kita bisa merasakannya hanya dengan mendengarkan curhatan putus asa Alya atau melihat gerak-geriknya yang minim dan penuh keraguan. Hal ini juga diamplifikasi oleh penampilan Ladya Cheryl yang sama, jika tidak lebih memukaunya dari Dian Sastrowardoyo.
Pada sisi lain, para pemain lainnya juga berakting dengan cukup solid. Nicholas Saputra, di luar penokohannya yang tidak secakap Cinta, memberikan sisi kemanusiaan yang membuat karakternya tidak begitu berdimensi satu (Rangga tertawa dan bercanda ketika memasak dengan Cinta). Chemistry-nya dengan Dian Sastrowardoyo juga elektrik. Mereka membantu satu sama lain sehingga ketertarikan Rangga dan Cinta bisa dirasakan oleh para penonton. Geng Cinta juga memiliki dinamika yang menyenangkan. Mudah untuk percaya bahwa kelima remaja ini berteman dan sugguh-sungguh memedulikan satu sama lain.
Unsur pendukung lainnya yang layak disebutkan adalah musik. Anto Hoed beserta Melly Goeslow mampu menyuguhkan komposisi yang sesuai dan dapat membangun suasana, terkadang hanya melalui petikan gitar atau dentingan piano. Lagu yang mereka ciptakan dan juga yang dibawakan oleh musisi lainnya seperti Anda dan PAS Band juga berhasil menjadi pemanis yang memperkaya pengalaman menonton. Terdapat banyak momen di sepanjang film yang tidak akan bekerja sebaik itu tanpa musik atau lagu gubahan mereka, seperti Denting yang mengiringi montage Rangga bersiap-bersiap ke New York, Ku Bahagia yang sejalan dengan opening credits, dan tentu saja, Suara Hati Seorang Kekasih yang melengkapi ciuman Rangga dan Cinta.
Penyutradaraan Rudi Soedjarwo di sini jauh lebih terkalkulasi dibandingkan filmnya yang lain yang sudah saya tonton. Pengambilan gambarnya memiliki presisi yang hampir kaku dan tidak banyak tingkah untuk membiarkan cerita dan tokohnya menjadi sorotan utama. Dibantu dengan pengeditan yang sukses menjaga tempo dan menggerakkan plot secara alami sehingga klimaks cerita bisa 'menendang' dan diikuti dengan pilihan resolusi yang lebih realistis dibandingkan indah, Ada Apa dengan Cinta? adalah sebuah pionir dalam sejarah perfilman Indonesia yang berhasil memikat jutaan hati para penonton Indonesia tapi sayangnya tidak disusul oleh karya berkualitas serupa yang mampu mempertahakankan kepercayaan tersebut.
Penyutradaraan Rudi Soedjarwo di sini jauh lebih terkalkulasi dibandingkan filmnya yang lain yang sudah saya tonton. Pengambilan gambarnya memiliki presisi yang hampir kaku dan tidak banyak tingkah untuk membiarkan cerita dan tokohnya menjadi sorotan utama. Dibantu dengan pengeditan yang sukses menjaga tempo dan menggerakkan plot secara alami sehingga klimaks cerita bisa 'menendang' dan diikuti dengan pilihan resolusi yang lebih realistis dibandingkan indah, Ada Apa dengan Cinta? adalah sebuah pionir dalam sejarah perfilman Indonesia yang berhasil memikat jutaan hati para penonton Indonesia tapi sayangnya tidak disusul oleh karya berkualitas serupa yang mampu mempertahakankan kepercayaan tersebut.
Komentar
Posting Komentar