Review: Harry Potter and the Deathly Hallows: Part 2 (2011)
Epic and Bittersweet
oleh Kurnia Cahya Putra
Harry Potter and the Deathly Hallows: Part 2 (2011)
Disutradarai David Yates
Dibintangi Daniel Radcliffe, Emma Watson, Rupert Grint
Produksi Warner Brothers
"Don't make me comb your hair again." -Hermione Granger
Alhamdulillah pemerintah ngerilis juga bagian kedua dari Harry Potter and the Deathly Hallows ke Indonesia. Namun, entah karena lebih lama dari negara lain atau apa, peminatnya jadi kelewat banyak. Temen gua susah banget dapet tiket dan giliran dapet, secara harfiah di kursi paling depan. Alhasil, jadi jerapah buat 1.45 jam, padahal ada empat studio yang nayangin ini. Waktu itu, gua nonton Part 1 di premier-nya, tapi nggak seriwueh itu. OK, ayo, review, tapi pertama-tama, terima kasih banyak untuk temen gua yang traktir dalam rangka ultah, semoga panjang umur.
Bagian kedua dari Relikui Kematian dimulai tepat bagaimana bagian pertama berakhir. Voldemort membuka makam Dumbledore dan mengambil tongkat elder, tongkat paling kuasa sepanjang masa yang merupakan salah satu dari tiga relikui kematian. Jadinya ada sisa dua relikui yang belum disentuh, yaitu batu kebangkitan dan jubah tak kasat mata. OK, lalu kita kembali ke Harry, Ron, dan Hermione. Dobby, peri rumah yang meninggal di bagian pertama, akhirnya dikuburkan dengan nisan bertuliskan, "Berbaring Dobby, peri yang bebas." Cry. Cry. Cry.
Untuk menghancurkan Voldemort, seperti telah dijelaskan pada bagian pertama, Harry harus nemuin horcrux, atau benda yang berisi bagian-bagian dari tubuh Voldemort. Udah tiga dari horcrux tersebut yang berhasil dihancurin, yaitu liontin, cincin, dan buku harian. Untuk ngancurin Voldemort seutuhnya, Harry harus nemuin sisanya. David Yates nggak repot-repot menjelaskan ulang apa itu horcrux, atau relikui kematian, tapi dia menerangkannya secara sederhana dengan menyelipkannya sedikit demi sedikit dalam dialog.
Perjalanan Harry, Ron dan Hermione dimulai di Bank Gringotts, di mana Hermione menyamar sebagai Bellatrix Lestrange untuk masuk ke brankasnya yang dipercaya berisi salah satu horcrux dan Helena Bonham Carter menunjukkan akting yang fenomenal! Dia dengan baik mampu memerankan Hermione yang memerankan Bellatrix. Ngomong-ngomong, keadaan tidak semulus seharusnya ketika tiga sahabat itu secara tak sengaja membunyikan alarm dan mereka harus lolos dengan mengendarai naga buas yang spesial efek CGI-nya benar-benar terlihat hidup dan nyata.
Setelah mendapatkan horcrux keempat, yaitu piala Hufflepuff, mereka berapparate ke Hogsmaede, di mana mereka kembali dikejar namun akhirnya ditolong oleh seseorang bertampang mirip Dumbledore yang tak lain merupakan adiknya, Aberforth. Dalam penjelasan yang menurut gua sedikit maksa, dialah yang selama ini membantu Harry melalui pecahan cermin yang selalu Harry bawa ke mana-mana. Aberforth kembali menolong mereka dengan memanggil Naville yang menuntun mereka bertiga masuk ke Hogwarts dalam sebuah jalan rahasia. Di sana Harry disambut dengan meriah oleh tepuk tangan dan sorak sorai dari teman-temannya yang rela berkorban dan begitu loyal. Salah satu momen yang membuat badan gua merinding karena saking kerennya, kalaupun itu masuk akal.
Harry menjelaskan rencananya pada mereka, lalu akhirnya dimulailah peperangan antara kejahatan dan kebaikan dalam kastil tercinta kita. David Yates dengan sempurna membuat seluruh momen dalam peperangan intens dan sangat menegangkan. Kita, sebagai penonton, tak sanggup untuk mengambil napas sesaat dan tetap terpaku pada layar. Ledakan terjadi di sana-sini, letusan terdengar di mana-mana, mantra mematikan melayang di tiap sudut, raungan kesakitan dilolongkan, dan waktu Harry semakin tipis untuk menghancurkan horcrux milik dia-yang-namanya-tak-boleh-disebut.
Duel-duel yang epik berjalan sepanjang film. Dimulai dengan pertarungan antara McGonagall dan Snape yang diakhiri dengan teriakan, "pengecut!" dan sorak sorai yang kembali membuat badan merinding hingga pertarungan akhir antara Harry dan Voldemort yang dikemas secara apik. Suasana kelam turut hadir, karakter-karakter yang tumbuh untuk kita cintai tumbang satu per satu. Membuat suasana begitu emosional dan memilukan. Musik gubahan Alexandre Desplat mampu menyayat hati siapapun, apalagi di sebuah adegan penjelasan dari seorang karakter yang kita kira kita kenal dari awal. Gua bisa ngeliat seisi teater narik-ulur ingus. Benar-benar adegan yang sangat menyakitkan sepanjang sejarah Harry Potter.
Deathly Hallows: Part 2 adalah film yang solid dan secara sempurna diatur. Namun yang patut disayangkan adalah pacing dan temponya yang terasa sangat terburu-buru. Untuk sebuah film yang berdiri sendiri, Deathly Hallows: Part 2 terasa berlalu sangat cepat dalam kurun dua jam kurang 15, namun di lain pihak jika kita juga mempertimbangkan part pertama, film ini merupakan akhir yang sangat memuaskan dengan klimaks yang sangat epik. Seluruh aktor memberikan yang terbaik dari yang mereka punya. Para pemeran utama, Dan, Rupert dan Emma memberikan karakter mereka kehidupan dan kita tidak akan bisa membayangkan tokoh-tokoh itu dimainkan orang lain. Walaupun begitu mereka masih nampak di bawah jejeran pemain pendukung seperti Gary Oldman, Julie Walters atau Maggie Smith, tapi terutama Alan Rickman yang pantas mendapatkan penghargaan apapun untuk perannya sebagai Snape dalam film ini. Ralph Fiennes mendominasi bagian akhir dalam perannya sebagai Pangeran Kegelapan. Ia dengan mengerikan memimpin pengikutnya, para Pelahap Maut menyerang Hogwarts.
Film ini memiliki visual yang memanjakan mata dan realistis, seperti raksasa-raksasa yang ikut dalam peperangan Hogwarts. Mereka terlihat nyata dan keren. Atau pasukan patung ksatria yang sigap menjaga pintu masuk Hogwarts. Seluruh spesial efek itu, ditambah dengan sinematografi yang benar-benar bagus (meskipun masih di bawah Prisoner of Azkaban dan Half-Blood Prince), mengemas film ini dengan sempurna. Tak terasa, waktu berjalan begitu cepat semenjak kita melihat bagaimana seorang bocah ceking berumur 11 tak sengaja melepaskan piton ke saudara tirinya, kini Harry memiliki janggut tipis di dagunya dan mencium adik dari sahabatnya. Lalu setelah itu film ini diakhiri dengan ending yang membuat bibir tersungging, dalam pihak karena sangat manis, di lain pihak karena sedikit konyol.
Harry Potter and the Deathly Hallows: Part 2 merupakan bagian penutup yang sangat memuaskan. Epik, emosional, menyentuh dan sempurna bersatu. Dengan kabar yang mengatakan sebuah sekuel dari J.K. Rowling sangat minim kemungkinannya, cepat atau lambat, siap atau menolak, kita harus tetap mengatakan; selamat tinggal, Harry! 9/10.
Perjalanan Harry, Ron dan Hermione dimulai di Bank Gringotts, di mana Hermione menyamar sebagai Bellatrix Lestrange untuk masuk ke brankasnya yang dipercaya berisi salah satu horcrux dan Helena Bonham Carter menunjukkan akting yang fenomenal! Dia dengan baik mampu memerankan Hermione yang memerankan Bellatrix. Ngomong-ngomong, keadaan tidak semulus seharusnya ketika tiga sahabat itu secara tak sengaja membunyikan alarm dan mereka harus lolos dengan mengendarai naga buas yang spesial efek CGI-nya benar-benar terlihat hidup dan nyata.
Setelah mendapatkan horcrux keempat, yaitu piala Hufflepuff, mereka berapparate ke Hogsmaede, di mana mereka kembali dikejar namun akhirnya ditolong oleh seseorang bertampang mirip Dumbledore yang tak lain merupakan adiknya, Aberforth. Dalam penjelasan yang menurut gua sedikit maksa, dialah yang selama ini membantu Harry melalui pecahan cermin yang selalu Harry bawa ke mana-mana. Aberforth kembali menolong mereka dengan memanggil Naville yang menuntun mereka bertiga masuk ke Hogwarts dalam sebuah jalan rahasia. Di sana Harry disambut dengan meriah oleh tepuk tangan dan sorak sorai dari teman-temannya yang rela berkorban dan begitu loyal. Salah satu momen yang membuat badan gua merinding karena saking kerennya, kalaupun itu masuk akal.
Harry menjelaskan rencananya pada mereka, lalu akhirnya dimulailah peperangan antara kejahatan dan kebaikan dalam kastil tercinta kita. David Yates dengan sempurna membuat seluruh momen dalam peperangan intens dan sangat menegangkan. Kita, sebagai penonton, tak sanggup untuk mengambil napas sesaat dan tetap terpaku pada layar. Ledakan terjadi di sana-sini, letusan terdengar di mana-mana, mantra mematikan melayang di tiap sudut, raungan kesakitan dilolongkan, dan waktu Harry semakin tipis untuk menghancurkan horcrux milik dia-yang-namanya-tak-boleh-disebut.
Duel-duel yang epik berjalan sepanjang film. Dimulai dengan pertarungan antara McGonagall dan Snape yang diakhiri dengan teriakan, "pengecut!" dan sorak sorai yang kembali membuat badan merinding hingga pertarungan akhir antara Harry dan Voldemort yang dikemas secara apik. Suasana kelam turut hadir, karakter-karakter yang tumbuh untuk kita cintai tumbang satu per satu. Membuat suasana begitu emosional dan memilukan. Musik gubahan Alexandre Desplat mampu menyayat hati siapapun, apalagi di sebuah adegan penjelasan dari seorang karakter yang kita kira kita kenal dari awal. Gua bisa ngeliat seisi teater narik-ulur ingus. Benar-benar adegan yang sangat menyakitkan sepanjang sejarah Harry Potter.
Deathly Hallows: Part 2 adalah film yang solid dan secara sempurna diatur. Namun yang patut disayangkan adalah pacing dan temponya yang terasa sangat terburu-buru. Untuk sebuah film yang berdiri sendiri, Deathly Hallows: Part 2 terasa berlalu sangat cepat dalam kurun dua jam kurang 15, namun di lain pihak jika kita juga mempertimbangkan part pertama, film ini merupakan akhir yang sangat memuaskan dengan klimaks yang sangat epik. Seluruh aktor memberikan yang terbaik dari yang mereka punya. Para pemeran utama, Dan, Rupert dan Emma memberikan karakter mereka kehidupan dan kita tidak akan bisa membayangkan tokoh-tokoh itu dimainkan orang lain. Walaupun begitu mereka masih nampak di bawah jejeran pemain pendukung seperti Gary Oldman, Julie Walters atau Maggie Smith, tapi terutama Alan Rickman yang pantas mendapatkan penghargaan apapun untuk perannya sebagai Snape dalam film ini. Ralph Fiennes mendominasi bagian akhir dalam perannya sebagai Pangeran Kegelapan. Ia dengan mengerikan memimpin pengikutnya, para Pelahap Maut menyerang Hogwarts.
Film ini memiliki visual yang memanjakan mata dan realistis, seperti raksasa-raksasa yang ikut dalam peperangan Hogwarts. Mereka terlihat nyata dan keren. Atau pasukan patung ksatria yang sigap menjaga pintu masuk Hogwarts. Seluruh spesial efek itu, ditambah dengan sinematografi yang benar-benar bagus (meskipun masih di bawah Prisoner of Azkaban dan Half-Blood Prince), mengemas film ini dengan sempurna. Tak terasa, waktu berjalan begitu cepat semenjak kita melihat bagaimana seorang bocah ceking berumur 11 tak sengaja melepaskan piton ke saudara tirinya, kini Harry memiliki janggut tipis di dagunya dan mencium adik dari sahabatnya. Lalu setelah itu film ini diakhiri dengan ending yang membuat bibir tersungging, dalam pihak karena sangat manis, di lain pihak karena sedikit konyol.
Harry Potter and the Deathly Hallows: Part 2 merupakan bagian penutup yang sangat memuaskan. Epik, emosional, menyentuh dan sempurna bersatu. Dengan kabar yang mengatakan sebuah sekuel dari J.K. Rowling sangat minim kemungkinannya, cepat atau lambat, siap atau menolak, kita harus tetap mengatakan; selamat tinggal, Harry! 9/10.
Komentar
Posting Komentar