Review: The Ring (2002)
You start to play it and it's like somebody's nightmare. And then this woman comes on, smiling at you, right? Seeing you... through the screen. Then when it's over, your phone rings, someone knows you watched the tape... and what they say is, 'You will die in seven days...
Sewaktu kecil, saya bertemu tatap dengan sebuah artikel di majalah remaja yang membahas film ini dan Ringu, film Jepang yang diadaptasinya. Premis dari kedua film tersebut mencuri lebih dari sekedar atensi saya. Konon, terdapat sebuah video, yang jika kamu tonton, akan menyebabkan teleponmu berdering dengan suara di sisi lain menyebutkan, "Tujuh hari," memperingatkanmu akan sisa hidupmu. Bukankah itu luar biasa orisinil, modern, dan terutama, menyeramkan? Semacam legenda urban yang biasanya disebarkan sewaktu nongkrong di angkringan atau ketika dosen belum datang (tentunya, pada saat itu saya belum mengenali kedua konsep itu karena masih SD)--dan kamu percayai karena itu terjadi pada temannya temanmu. Saya pun menabung dan membeli VCD-nya di Disctarra Mall Cinere (ah, masa kecil...) dan begitu selesai menontonnya, saya langsung mematikan VCD player-nya setelah adegan pembukanya dan meminta ibu saya mengembalikan VCD tersebut. Ya, The Ring messed my-elementary-school-self pretty bad. Tentu saja, ibu saya menuruti keinginan saya dan membawa pulang VCD Pingu sebagai keesokan harinya.
The Ring berpusat pada Rachel (Watts), reporter koran lokal sekaligus single mom, yang melakukan investigasi setelah kematian keponakannya digosipkan sebagai hasil ulah legenda urban itu. Dia melakukan pelacakan hingga ke Shelter Mountain Inn., sebuah penginapan yang disinggahi keponakannya dan menemukan kaset VHS biang keladinya di sana. Rachel menyetel dan menyaksikannya ketika matahari terbenam. Tentu saja, segera setelah frame terakhir di video (sebuah sumur di tengah-tengah hutan) menghilang dan terganti dengan visual statik, telepon berdering dan suara di ujung sana menyebutkan sisa waktu yang dia punya. Mulai paranoid, Rachel meminta bantuan si skeptis Noah (Henderson), mantan pacarnya yang merupakan pakar video, dan meneliti setiap frame dalam video tersebut untuk membongkar misteri di baliknya sekaligus menyelamatkan dirinya sebelum waktunya habis.
Ketika saya bilang saya ketakutan padahal baru adegan pembuka, saya tidak bercanda. The Ring luar biasa beratmosfer. Saya sendiri tidak tahu secara teknis apa resepnya. Mungkin sinematografinya, blue tint-nya yang menyelimuti setiap frame (look yang selalu ingin saya tiru di karya-karya saya tapi tentu saja gagal karena ketika tokoh-tokohmu tergelimang silaunya sinar matahari Depok, blue tint menjadi sedikit tidak natural) dan berhasil memberikan nuansa kelam sekaligus indah. Mungkin penyutradaraannya Gore Verbinski dengan setiap pilihannya yang terkalkulasi sehingga atmosfer tersebut selalu terjaga dan tidak pernah turun. Apa pun itu, The Ring merupakan sajian yang berhasil mencapai tujuannya sebagai sebuah film horor: menakuti.
Dibawa dengan pace yang tepat, The Ring memiliki misteri yang menggugah, yang menarik penonton lebih dalam seraya lapisan demi lapisannya diiris seperti bawang. Lalu begitu segalanya terungkap, begitu segalanya sepertinya baik-baik saja, The Ring memberikan akhir cerita yang gut-punching, yang membuat mulut termegap karena keefektifannya. Ya, akan sulit rasanya membicarakan The Ring tanpa menyebutkan adegan akhirnya, yaitu ketika--spoiler alert--Samara merangkak keluar dari TV dan membunuh Noah. Momen tersebut, bagi siapa saja yang tidak tahu menahu, akan benar-benar menangkap tanpa peringatan dan takkan pernah meninggalkan bahkan setelah berhari-hari.
Naomi Watts, dalam perannya sebagai Rachel, menyajikan performa yang sedikit terlalu besar. Amat berbeda dengan versi Jepang-nya yang dimainkan Nanako Matsushima secara kalem. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan budaya, tapi Naomi memang lebih memilih untuk menampilkan emosi-emosi wah, emosi teatrikal, yang meskipun tidak sama efektifnya, saya akui tetap mampu menjangkar filmnya. Martin Henderson, sebagai mantan pacarnya yang slacker-ish, memiliki karisma yang cukup kuat (meskipun tokoh Ryuji di versi Jepang-nya memiliki presensi layar yang lebih besar), sementara anak mereka yang diperankan David Dorfman memiliki kedewasaan yang membantunya untuk membuat tokohnya tetap creepy.
Karena The Ring merupakan film daur ulang, akan adil apabila dibandingkan dengan versi Jepang-nya. Perihal teknis, tentu saja film ini superior--sinematografi yang lebih unik, suntingan yang lebih ketat, serta spesial efek yang lebih modern. Namun, dalam urusan lainnya, Ringu tetap masih lebih unggul. Hideo Nakata memberikan sentuhan yang lebih sabar dalam pembangunan menuju adegan akhir sehingga pay-off di mana Sadako merangkak keluar dari televisi di film aslinya terasa lebih rewarding. Dia lebih cakap dari Verbinski dalam menghadirkan suasana tidak nyaman di sepanjang film tanpa perlu sentuhan megah Hollywood, dan ini juga terlihat dengan minimnya adegan 'boo' untuk menjaga penonton tetap di was-was di kursi--berbeda dengan The Ring yang lebih memanfaatkan adegan sejenis untuk meresahkan penonton (contoh: "I saw her face...", cue loud music and jump cut to a scary image!)--meskipun patut diakui juga, adegan-adegan tersebut juga masih efektif di sini.
Ringu juga tidak takut dengan level kecerdasan penonton sehingga merasa perlu untuk mengeja segalanya secara gamblang. Mari kita kembali ke adegan akhir. Secara visual, mungkin versi yang Amerika lebih kompleks (Samara berpendar-pendar seperti masih di dalam TV, CGI makeup menempel tebal di wajahnya, dsb.), tapi hal itu justru mengurangi keefektifan adegan karena menjauhkan penonton dari cerita. Dalam versi Jepang, latarnya ada di ruang tengah biasa sebuah rumah, dan Sadako didandani dengan biasa; gaun putih dan rambut panjang layaknya wanita yang mungkin kita temui di dunia nyata. Ini menjadikan adegannya lebih efektif karena lebih relatable kepada penonton.
Secara keseluruhan, The Ring adalah daur ulang yang berhasil. Film ini, apabila melihat film-film daur ulang lainnya dan juga premis yang sesungguhnya cheesy, seharusnya berakhir konyol. Namun, dengan bakat Gore Verbinski yang sungguh seorang sutradara 'visual', performa tanpa ironi dari para aktornya, serta misteri yang menggugah, film ini patut dianggap serius dan ketika dianggap serius, berhasil menyajikan tontonan seram yang berbobot.
Naomi Watts, dalam perannya sebagai Rachel, menyajikan performa yang sedikit terlalu besar. Amat berbeda dengan versi Jepang-nya yang dimainkan Nanako Matsushima secara kalem. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan budaya, tapi Naomi memang lebih memilih untuk menampilkan emosi-emosi wah, emosi teatrikal, yang meskipun tidak sama efektifnya, saya akui tetap mampu menjangkar filmnya. Martin Henderson, sebagai mantan pacarnya yang slacker-ish, memiliki karisma yang cukup kuat (meskipun tokoh Ryuji di versi Jepang-nya memiliki presensi layar yang lebih besar), sementara anak mereka yang diperankan David Dorfman memiliki kedewasaan yang membantunya untuk membuat tokohnya tetap creepy.
Karena The Ring merupakan film daur ulang, akan adil apabila dibandingkan dengan versi Jepang-nya. Perihal teknis, tentu saja film ini superior--sinematografi yang lebih unik, suntingan yang lebih ketat, serta spesial efek yang lebih modern. Namun, dalam urusan lainnya, Ringu tetap masih lebih unggul. Hideo Nakata memberikan sentuhan yang lebih sabar dalam pembangunan menuju adegan akhir sehingga pay-off di mana Sadako merangkak keluar dari televisi di film aslinya terasa lebih rewarding. Dia lebih cakap dari Verbinski dalam menghadirkan suasana tidak nyaman di sepanjang film tanpa perlu sentuhan megah Hollywood, dan ini juga terlihat dengan minimnya adegan 'boo' untuk menjaga penonton tetap di was-was di kursi--berbeda dengan The Ring yang lebih memanfaatkan adegan sejenis untuk meresahkan penonton (contoh: "I saw her face...", cue loud music and jump cut to a scary image!)--meskipun patut diakui juga, adegan-adegan tersebut juga masih efektif di sini.
Ringu juga tidak takut dengan level kecerdasan penonton sehingga merasa perlu untuk mengeja segalanya secara gamblang. Mari kita kembali ke adegan akhir. Secara visual, mungkin versi yang Amerika lebih kompleks (Samara berpendar-pendar seperti masih di dalam TV, CGI makeup menempel tebal di wajahnya, dsb.), tapi hal itu justru mengurangi keefektifan adegan karena menjauhkan penonton dari cerita. Dalam versi Jepang, latarnya ada di ruang tengah biasa sebuah rumah, dan Sadako didandani dengan biasa; gaun putih dan rambut panjang layaknya wanita yang mungkin kita temui di dunia nyata. Ini menjadikan adegannya lebih efektif karena lebih relatable kepada penonton.
Secara keseluruhan, The Ring adalah daur ulang yang berhasil. Film ini, apabila melihat film-film daur ulang lainnya dan juga premis yang sesungguhnya cheesy, seharusnya berakhir konyol. Namun, dengan bakat Gore Verbinski yang sungguh seorang sutradara 'visual', performa tanpa ironi dari para aktornya, serta misteri yang menggugah, film ini patut dianggap serius dan ketika dianggap serius, berhasil menyajikan tontonan seram yang berbobot.
Komentar
Posting Komentar