Untitled - Prolog
Prolog
Sarah adalah jenis anak di sekolah yang akan mengingatkan guru bahwa kelas mereka memiliki PR. Sarah tidak peduli apabila orang lain tidak menyukainya, yang terpenting baginya adalah semuanya berjalanan sebagaimana seharusnya—atau setidaknya sesuai dengan idealismenya yang baginya adalah sebuah kebenaran dibandingkan hal yang subjektif. Maka dari itu, ketika Joni, tunangannya berusaha membujuknya agar memilih hiburan musik yang lebih ekonomis dibandingkan band indie yang digemarinya semasa kuliah—sesuatu yang, apabila dilihat dari gambaran besarnya, lebih sesuai dengan pandangan moral yang secara umum dia pegang—Sarah bersikeras untuk tidak berkompromi karena layaknya segala hal yang dihadapinya, Sarah sudah memiliki gambaran sejelas kristal tentang bagaimana pernikahannya akan berjalan—semenjak umurnya enam, bahkan.
“Iya, aku tau kalo itu lebih masuk akal kalo kita liat gambaran besarnya, bahkan, kita bisa argue kalo uangnya bakalan lebih berguna buat disumbang ke panti asuhan, tapi kadang ada hal yang boleh ngeruntuhin gambaran besar, Jon, salah satunya impian.” Katanya membela diri.
“Impian kamu itu nikah?” tanya Joni. “Nggak seprogresif yang aku kira, ya.”
Sarah agak menganga mendengarnya. “Bukan. Nikah itu nikah, impiannya adalah gimana nikahnya, dan salah satu bagiannya itu White Shoes and the Couples Company!”
“Dut, please bantuin gua, men.” Joni, agak frustrasi, berpaling ke seberang meja.
Duta, sedari tadi menyaksikan cek-cok mereka—menikmati, bahkan—menjawab sambil menyeruput es kopi, “No, thanks, gua belum bayar wi-fi jadi kalo mau hiburan harus make paket data. Lanjutin.”
“Oh, ini hiburan buat lo?” kata Joni. “Tunggu aja sampe gue pindahin lo dari guest VIP, jadi lo nggak dapet meja dan berdiri kayak kolega.”
“Ngomong-ngomong, lo jadi bawa plus one, nggak?” tanya Sarah. “Soalnya kita musti nyesuain, Dut.”
“Kenapa? Emang ada perubahan? Rachel masih lo undang, kan?”
“Masih, tapi ada perubahan.” Kata Joni. “Status kalian.”
Sarah menyenggol lututnya.
Duta tersenyum kepada Joni. Semacam senyuman kelegaan, entah mengapa. “No filter. Yang murni emang yang sehat sih.” Dia menaruh cup es kopinya dan bercondong ke depan. “Buat ngejawab pertanyaan lo, nggak, Sar, gua nggak jadi bawa plus one kalo gitu.”
“Tapi, lo nggak apa-apa kan, Dut?” Sarah menatapnya agak khawatir.
“Sar, stop. Bagian lain dari impian lo itu bukan ngebikin masa wedding lo jadi tentang gua.” Sarah dan Joni tidak mengubah mode kekhawatiran dari ekspresi mereka. “Guys, gua nggak apa-apa!” Duta tersenyum lebar, hampir tertawa. “Gua ngeproses ini, tapi gua masih fungsional. Kalian mau ngebantu? Berantem lagi.”
Sarah dan Joni bertukar pandang, seakan saling memberi sinyal untuk menyerah. “OK.” Angguk Sarah. Dia mengecek jam tangan, “Sekarang hampir jam lima sih, kita mau ke Mayestik buat beli kain. Lo mau ikut?”
“Ah, nggak, Brooklyn Nine-Nine baru ngeluarin episode Halloween. Gua duluan deh.” Duta menyeleting jaket bombernya hingga pangkal. “OK…” katanya seraya bangkit.
Sarah dan Joni juga ikut membangunkan diri. Duta memeluk keduanya. Sarah mengingatkannya untuk meminum obat flunya karena belum habis, sementara Duta berbisik kepada Joni untuk mengikuti permintaan Sarah. “Dia bilang ke gua dia jatuh cinta sama lo pas kalian dengerin Kisah dari Selatan Jakarta di WTF.” Ungkapnya.
Duta berpisah dengan Joni dan Sarah yang ke parkiran mobil dan menghabiskan es kopinya di sepanjang perjalanannya menuju vespanya di parkiran motor McDonald’s itu. Dia memasang helmnya dan pulang ditemani podcast The Big Picture dengan episode yang membahas Lady Bird. Perjalanan itu menyenangkan dan tenang, seperti filmnya Sofia Coppola. Langitnya berwarna oranye melankolis, seperti klise film romantis. Ocehan tentang bagaimana Laurie Metcalf tercuri nominasi Osar berhasil mengalihkan pikirannya dari Rachel sehingga ketika dia tiba di parkiran kostnya, dia enggan untuk mencopot handsfree-nya sebelum dia sampai di depan pintu kamarnya.
Tarikan napas Duta seraya dia menyentuh gagang pintu cukup panjang dan berat. Dia menyiapkan diri untuk kembali ke dunia nyata, lalu dia menekan gagang itu, mengayunkan daunnya, dan masuk ke dalamnya.
Dunia nyata memiliki cat putih, dengan lampu natal yang menurut Sarah akan meramaikan suasana meskipun Duta muslim dan campuran poster film obscure dan mainstream yang menggambarkan ruang lingkup selera Duta. Apabila ingin memasukkan Duta ke dalam kotak, jumlahnya yang lebih dari lima bisa mengindikasikan pendapatnya atas pantas-tidaknya dia menyebut dirinya seorang film geek.
Duta mencopot jaket bombernya dan tadinya berniat menyangkutkannya di gantungan baju, tetapi menyadari dia harus rela melangkah beberapa kali, dia memutuskan untuk melemparnya ke kasur. Hanya dia yang ada di sini, jadi dia tidak mengganggu siapa-siapa. Duta mencopot celananya, lalu melemparkan diri juga. Tengkurap, dia membuka lid laptop dan menunggu booting. Smartphone menggodanya di samping. Dua, tiga lirikan dan kendali diri Duta yang rendah berhasil diruntuhkan.
Duta membuka Instagram, lalu foto profil Rachel yang tertawa menyambutnya—tapi dalam konteks yang berbeda sekarang, Duta sedang merasa dirinya ditertawai dibandingkan diajak tertawa. Duta men-tapnya, tak ada yang terjadi karena ternyata Rachel tidak membuat Instagram story. Jadi, Duta men-scroll turun, berandai-andai bagaimana jadinya jika keadaan berbeda, hingga dia akhirnya berkonklusi bahwa ini tindakan yang pasif, dan dia harus aktif untuk produktif.
Rachel akan tetap menjadi plus one-nya. Dia akan mendapatkannya kembali, niatnya.
Komentar
Posting Komentar