Cuitan - Prolog



Prolog


Laura Pradipta tidak tahu harus mengekspektasi apa. Yang Laura tahu hanya dua orang yang paling dia cinta memintanya untuk bertemu bersama. Ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi, tapi Laura menolak untuk berpikir terlalu panjang. Laura juga sudah terbutakan oleh rasa percaya diri. Ya, mungkin “terbutakan” bukan kata yang tepat karena pilihannya untuk melalui saja apa yang akan dihadapinya tanpa menyiapkan diri lebih didasari pada kepercayaannya akan kedua orang ini. Lagipula, apabila ini adalah sebuah kejutan, akan tidak menyenangkan jika dia sudah menebak duluan.
Orang yang pertama adalah sahabatnya semenjak SMA, Wanda. Apabila suatu ketika Laura terjeblos ke penjara, entah karena mengisap ganja atau melakukan hal kriminal lainnya yang hanya berakibat pada dirinya sendiri, orang pertama yang akan dia hubungi adalah Wanda. Laura punya dua orang yang dia anggap sahabat--teman terdekat, Wanda dan Jelita, tetapi Laura lebih dekat dengan Wanda karena Jelita membuatnya agak minder. Ada berapa banyak coba gadis 20 tahun yang memodeli iklan nasional, yang dipampang dalam berbagai platform dari cetak hingga digital? Itulah Jelita--nama yang jika dilihat sekarang pasti akan membuat kedua orang tuanya merasa pintar. Dan Laura bahkan tidak membicarakan paras, tapi lebih ke prestasi. Dia selalu ingin memiliki suara sebesar Jelita, perantaranya bisa paras sepertinya atau hal konkret dan abstrak lainnya--yang penting dia ingin bisa mencapai banyak orang seperti Jelita. Dia punya banyak sekali hal untuk disampaikan.
Laura merasa lebih bebas dengan Wanda karena dia menganggap diri mereka sama--dalam artian mereka harus sungguhan bekerja untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan karena mereka tidak memiliki privilese di luar kendali seperti gen atau materi yang sudah ada dari sananya. Menghadapi dunia, meskipun dalam skala sekecil kampus sekali pun, serasa seperti bergandengan tangan ketika bersama Wanda. Tentunya mereka pernah bertengkar, tetapi itu selalu karena mereka merasa mereka lebih tau apa yang lebih baik untuk apa pun itu yang mereka pertengkari--tabiat yang tak pernah melingkupi ego. Tentu Laura juga pernah memikirkan dirinya sendiri ketika bertengkar, tapi untuk yang kasus ini dia tak pernah lakukan bersama Wanda--paling sering kepada anggota keluarganya.
Orang yang kedua adalah pacarnya selama satu tahun belakangan, Faiz. Anak lelaki itu memiliki rambut terlebat dan termengkilap yang dia pernah lihat, dan tangannya yang ahli menabuh drum adalah bagian terfavoritnya (hal yang sempat membuat Laura merasa aneh karena tangan adalah hal yang cukup abstrak untuk membuat badan gerah--tapi ternyata dia tidak sendirian karena Jelita juga menyukainya). Faiz mungkin tidak memiliki ideologi diri yang sejalan dengan punyanya--itu juga mustahil didapatkan dari siapa pun, bukan?--tetapi itulah yang menjadi kunci hubungan mereka: kehormatan. Mereka dua orang independen, yang akan baik-baik saja jika yang lain pergi, yang kebetulan bertemu dan mengalami ketertarikan kimiawi. Mereka tidak akan memaksa satu sama lain berubah hanya agar hubungan mereka bisa selalu berjalan atau harmonis. Hal yang paling Laura sukai dari semua ini adalah kenyataan bahwa komitmen mereka sungguh-sungguh didasari oleh pemahaman dan kepercayaan.
Akan tetapi, Laura sudah mulai merasa cemas belakangan ini karena itu mungkin tidak terlalu benar. Banyaknya waktu yang dia habiskan dengan Faiz, belaian dan ungkapan cinta yang mereka berikan untuk satu sama lain, semakin lama membuat perasaannya membesar, hingga tiba pada titik di mana Laura menginginkan Faiz karena egonya. Titik di mana baginya, Faiz adalah--dan jika tidak--seharusnya milknya. Titik yang bagi Laura sudah cukup berbahaya karena baginya, ini sudah hampir seperti dia mencintai Faiz sebagaimana dia mencintai barang. Laura belum sepenuhnya yakin apakah dia merasakan itu, tetapi dia sudah cukup sadar untuk cemas. Dia pernah membicarakan ini kepada Wanda, tetapi Wanda malah mengajaknya membeli es krim setelah memberikan saran yang bahkan Laura tidak bisa pahami inti besarnya apa. Anehnya, Jelita yang justru mendengarkan cukup banyak hingga bisa memberikan pendapat bahwa ini adalah hal yang manusiawi dan Laura selalu takut untuk memberikan dirinya sepenuhnya kepada perasaannya.
Haruskah dia melakukan itu? Semua hal selalu memiliki batasan, dan apa yang menurutnya akan menjadi batas di mana dirinya terlalu mencintai seseorang? Dia tidak tahu itu, dan itu masalah terbesarnya. Mungkin jawabannya ada di akhir pertemuan ini. Karena jika mereka benar memberikannya kejutan yang membuatnya bahagia dan meningkatkan afeksi sekaligus apresiasinya kepada mereka, mungkin akhirnya dia bisa tahu apakah dia berlebihan atau tidak.
Wanda dan Faiz memintanya bertemu di Coffee Toffee--kedai kopi yang berada di bagian depan fakultas mereka--spesifiknya di area outdoor-nya. Hal pertama yang Laura sadari lumayan aneh adalah kenyataan bahwa mereka duduk bersebelahan, menyisakan kursi yang kosong di hadapan mereka untuk Laura. Makna tersiratnya cukup jelas--mereka ingin memberitahukan Laura sesuatu, dan mereka berada dalam sisi yang sama. Lalu, Laura mulai gugup. Kejutan yang menyenangkan akan mengajak targetnya untuk bergabung, sementara kejutan yang tidak akan membuat batasan dan kubu yang berbeda--atau yang terjadi sekarang ini.
Jadi, Laura tak bisa menunggu untuk bertanya ketika tiba, “Hai, guys. Ada apaan nih?”
“Hai, Lau.” Wanda sepertinya ingin langsung menjawab saat itu juga, tapi dia hanya mampu membalas sapaan.
“Kita pengen ngomong sesuatu sama lo.” Oh, tidak. ‘Kita’ lagi. Faiz membedakan dirinya dan Wanda dengan Laura.
Lalu, pemikiran-pemikiran buruk mulai bermunculan di kepala Laura. Secara sadar, Laura berusaha memaksa mereka untuk tenggelam, untuk berhenti bercakap, tetapi secara tidak sadar dan di luar kendali, mereka kerap bermunculan.
“Ada apa?” tanya Laura, kurang lebih mengulang.
“Aku sama Wanda…” Faiz memulai.
Laura menahan napas, mensinyalkan diri untuk mempersiapkan diri. Ini akan menjadi buruk, Laura tahu benar ini akan menjadi buruk. Laura tidak bisa kabur, dia harus menghadapi dan menerima ini, kemudian menelannya bulat-bulat.
“...kita sayang satu sama lain, Lau.” dan Faiz mengakhiri.

Komentar

Postingan Populer