Review: Ada Apa dengan Cinta? 2 (2016)

Upaya yang Tulus, Hasil yang Gagal

oleh Kurnia Cahya Putra

Ada Apa dengan Cinta? 2 (2016)
Sutradara Riri Riza
Pemain Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra
Penulis Mira Lesmana dan Prima Rusdi
Produksi Miles Films


Kisah Ada Apa dengan Cinta? 2 dimulai sesuai dengan waktu pembuatannya, yaitu 14 tahun setelah akhir film pendahulunya. Genk Cinta masih kokoh—meskipun telah menapaki beberapa kerikil yang tajam. Kini Cinta (Sastrowardoyo) mengurus sebuah galeri, Milly (Priscilla) dan Mamet (Adhiswara) menanti anak pertama mereka, dan Maura (Kamal) menjadi penasihat keduanya setelah melahirkan beberapa momongan dengan Tian (Sugiono). Pada adegan pembuka, ketiga wanita muda itu berkumpul ditemani pasangan masing-masing di galerinya Cinta, menanti kedatangan Karmen (Wirasti) yang hubungannya ternyata sempat merenggang dengan mereka dan menyambutnya kembali dengan mengajaknya berlibur ke Yogyakarta. Cinta juga akhirnya mengumumkan bahwa dia baru saja bertunangan dengan Trian (Bayu). Sementara itu, Rangga (Saputra) masih menetap di New York, membuka kafe dengan seorang kolega dan merenung—dan meriang. Tak disangka, adiknya datang jauh-jauh dari Yogyakarta dan memintanya pulang untuk mengunjungi ibunya yang dulu sempat meninggalkannya sendirian dengan ayahnya yang bermasalah politik karena dia dalam kondisi yang cukup buruk sekarang.

Begitulah cerita Ada Apa dengan Cinta? 2 dipondasikan. Melalui beberapa subplot yang dihadirkan seperti kembalinya Karmen setelah memisahkan diri karena suatu masalah pribadi yang mendorongnya untuk mengonsolidasikan diri pada narkoba serta kembalinya Rangga ke pelukan ibunya setelah ditinggalkan olehnya sekian lama, dapat dilihat bahwa film ini berkeinginan untuk memiliki bobot emosi yang sebanding dengan Ada Apa dengan Cinta? yang sendirinya berhasil, secara cakap, mengangkat dirinya lebih dari sekadar sebuah film remaja biasa melalui isu KDRT pada tokoh Alya (Cheryl) dan isu politik pada tokoh Yusrizal (Padmodarmaya), ayahnya Rangga. Sayangnya, niatan yang baik dan tulus itu tidak berbuah terlalu manis—dan ini juga berlaku pada aspek-aspek lainnya. Berbeda dengan masalah Alya di film pertama yang tergabung secara mulus pada skema keseluruhan cerita karena memiliki pengaruh yang signifikan dengan menjadi motivasi Cinta dalam melakukan suatu turning point besar, masalah Karmen tidak menghasilkan efek yang serupa karena hampir diperlakukan secara lewat begitu saja (bicara soal Alya, absensi tokohnya yang disebabkan ketidaktersediaanya Ladya Cheryl dijelaskan melalui poin cerita yang sangat tidak diperlukan). Pun halnya dengan subplot Rangga dengan ibunya yang justru tidak berhubungan sama sekali dengan plot utama (reuni Rangga dan Cinta) selain menjadi alasan bagi Rangga untuk berada di Yogyakarta pada waktu yang sama dengan Cinta dan memberikan nuansa yang lebih ‘dalam’ pada filmnya—sehingga malah terkesan diada-ada.

Plot utamanya sendiri hampir terlalu sederhana dan klise: wanita menjalin hubungan dengan pria, wanita bertemu dengan mantan, wanita jatuh cinta kembali dengan mantan, wanita harus memilih, wanita memutuskan meninggalkan mantan, dan wanita kembali dengan mantan setelah menyadari dia cinta sejatinya. The Notebook, Cintapuccino (dibintangi Sissy Priscilla juga), dan banyak film lainnya sudah mengadaptasi cetak biru tersebut. Sesungguhnya Ada Apa dengan Cinta? juga memiliki struktur yang pasaran: perempuan bertemu lelaki, perempuan membenci lelaki, dan perempuan jatuh cinta pada lelaki, tetapi seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, inklusi hal-hal yang nyata dan tidak menye-menye (bahasa sendiri) serta penanganannya yang juga realistis mampu mengesampingkan masalah tersebut. Realisme, itu hal lainnya yang kurang dalam film ini. Apabila penonton awam dapat me-relate diri mereka ke tokoh-tokoh Ada Apa dengan Cinta? karena tokoh-tokoh tersebut seakan berpikir apa yang mereka pikirkan dan berbicara apa yang mereka bicarakan, mereka akan kesulitan untuk melakukan hal yang sama di film ini. Mereka akan merasa teraliensi karena meskipun sudah berjarak 14 tahun, pola pikir tokoh-tokoh tersebut masih sama seperti ketika SMA (tidak ada perkembangan yang berarti seperti bagaimana manusia pada umumnya), dan mereka melakukan hal-hal yang tidak membumi (lihat bagaimana Milly, Karmen, dan Maura bersemangatnya mengajak Cinta meminum es teh seakan itu adalah minuman yang tak pernah mereka sentuh selepas SMA karena mereka sudah sangat sukses sekarang).

Dalam “keluhan” yang panjang ini, apabila ditarik kesimpulan, dapat dikatakan bahwa semua masalah datang dari skenario. Selain berbagai macam hal yang telah disebutkan, dialog-dialog dalam film ini juga tidak lepas dari kecacatan. Di Ada Apa dengan Cinta?, naskah disusun oleh tiga pihak yaitu Jujur Prananto, Prima Rusdi, dan Rako Prijanto. Prima menangani tokoh-tokoh perempuannya, sedangkan Rako menangani tokoh-tokoh lelakinya. Kali ini, hanya Prima yang kembali (ditemani Mira Lesmana yang saya spekulasi perannya sebanding dengan Jujur), memberikan argumen bahwa Rako adalah sosok yang amat dibutuhkan karena dari semua karakter, film ini hanya sukses mengeksekusi konversasi yang organik di antara tokoh-tokoh perempuannya. Pindahkan fokus ke Rangga dan bersiaplah untuk meringis. Ambil contoh adegan ketika Cinta pertama kali bertemu Rangga di galeri Eko Nugroho. Setelah pembangunan suasana yang lumayan membuat gigit jari, hal pertama yang diutarakan Rangga adalah, “Terlalu lama…” dan keefektifan adegan langsung menguap sirna. Mungkin terdengar bagus di atas kertas, namun nyatanya kebanyakan orang tidak memulai permintaan maafnya dengan bait puisi.

Hal yang serupa juga jadi berdampak kepada tokoh yang satu frame dengan Rangga. Mungkin kesalahan tidak sepenuhnya patut ditimpakan pada skenario, tetapi Dian Sastrowardoyo berpindah dari aktor yang terbaik dalam Ada Apa dengan Cinta? menjadi aktor yang terburuk dalam film ini (sebenarnya Christian Sugiono, tetapi porsinya hanya sedikit lebih tinggi dari ekstra). Penyampaian kalimatnya hampir janggal semua ketika bersama Rangga. Adegan di mana dia mengucapkan kalimat yang paling terkenal dari trailer, “Apa yang kamu lakukan ke saya itu jahat,” ternyata menjadi adegan yang hanya bisa membuat kening berkerut. Dapat dimengerti bahwa ketika bersama Rangga, Cinta selalu menyesuaikan dirinya (bahkan ini menjadi titik di mana ia menunjukkan ketertarikannya pada Rangga di film pertama–“Hey, kamu tuh kalau kebingungan nyenengin, ya.”), tapi entah mengapa, aspek tersebut tidak bekerja di sini. Sekali lagi, mungkin Rako adalah penawarnya.

Sedari tadi, artikel ini mungkin terkesan menjelek-jelekkan film ini, tetapi sesungguhnya niatan tersebut tidak ada karena  film ini sebenarnya bukanlah film yang jelek. Selain aspek nostalgianya yang membuat senyam-senyum, ada juga bagian-bagiannya yang sukses menyampaikan tujuannya. Adegan menonton matahari terbit di puncak Punthuk Setumbu bisa jadi adalah salah satu adegan teromantis dalam film Indonesia, begitu juga dengan adegan menonton boneka kertas di Papermoon Puppet Theater. Sissy Priscilla mencuri fokus semua adegan melalui comic timing-nya yang pas. Gubahan musik Melly Goeslaw dan Anto Hoed masih setajam film yang pertama. Riri Riza pun memberikan hidangan visual yang nikmat meskipun secara keseluruhan, penyutradaraan Rudi Soedjarwo di film pertama terkesan lebih ‘berkelas’ dengan kekakuannya dan lebih dapat dinikmati. Akan tetapi, tak dapat dipungkiri bahwa secara keseluruhan, para penggemar Ada Apa dengan Cinta? akan kecewa dengan film ini. 6/10.

Komentar

Postingan Populer