Hati Suhita: Konservatisme yang Menghalangi 3 Dimensi


Hati Suhita: Konservatisme yang Menghalangi 3 Dimensi

Oleh Kurnia Alexander


(Ulasan ini mengandung spoiler, baca dengan pertimbangan sendiri)

Beberapa hari yang lalu, temen saya mencak-mencak di grup setelah nonton Hati Suhita, film religi besutan Archie Hakagery yang dibintangi Nadya Arina dan Omar Daniel yang baru-baru ini keluar di bioskop. Saya dan teman satu ini punya pandangan politik yang cukup mirip, jadi saya suka setuju sama pendapat-pendapatnya dan menganggap reaksinya cukup sesuai dengan bagaimana kami akan merespon film-film bertema serupa (baca: religi). Tapi, besoknya, saya agak kaget melihat review-review dari rekan-rekan lainnya di Letterboxd yang memuji film ini, bahkan sampai bilang ini salah satu film terbaik tahun ini. Jujur, rasa penasaran saya langsung terpantik, apalagi ketika pacar saya juga terus-terusan memutar trailernya sambil ikutan mengucapkan dialognya--entah menikmati sungguhan, secara ironis, atau sekadar ingin bikin saya kesal.

Singkatnya, Hati Suhita bercerita soal Suhita dan Gus Birru yang dijodohkan dan bagaimana Gus Birru memperlakukan Suhita dengan buruk di pernikahan mereka sehingga Suhita berupaya untuk memenangkan hatinya, apalagi ketika hati itu masih bertambat pada cinta lamanya, Rengganis. Film soal perjodohan dan cinta segitiga bukanlah sesuatu yang baru, sebut saja salah satu karya sastra klasik kita yang mengusung tema sama: Siti Nurbaya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa ada satu elemen spesifik yang akhir-akhir ini cukup populer dalam mengiringi tema tersebut: konservatisme, atau lebih spesifik lagi, agama, atau lebih spesifik lagi, Islam. Memang belum terlalu banyak, but if I had a nickel every time a show or a movie about an Islamic girl who's forced into marriage with a man who doesn't love her and has to win his heart comes out, I would have (I think) 3 nickels, which isn't a lot, but it's weird that it happens thrice.

Sebagai seorang Muslim, saya tahu hal semacam ini (baca: perjodohan) masih terjadi. Sebagai seorang pembuat film yang suka membuat film untuk alasan katarsisme, saya jadi kepikiran, apakah fenomena ini (jika sudah bisa dibilang demikian) juga kasus yang sama: sebuah wujud eskapisme? Saya pun nge-tweet:


Saya akhirnya simpan itu sebagai sebuah thesis statement dan pergi ke bioskop. Saya baru saja selesai nonton, dan akhirnya... jreng, jreng, jreng... opini saya tidak terubah. Saya masih berpegangan pada asumsi tersebut. Berikut alasannya:

Di tengah-tengah film, saya membatin, saya tahu saya masih muda dan sejarah film kita sudah panjang, tapi film-film religi kita yang mainstream konservatif sekali, ya? Atau apa sayanya yang kurang mengekspos diri ke film lain? Mungkin agak aneh, ya meminta film religi yang tidak konservatif?--rasanya seperti sebuah oxymoron, tapi saya tahu kita punya beberapa (sepanjang pengetahuan saya yang cetek): Titian Serambut Dibelah Tujuh atau filmnya Garin Nugroho, Rindu Kami PadaMu, misalnya. Kenapa saya mempermasalahkan? Ya, sebenarnya tidak juga, saya cuma agak risih saja karena menurut saya, konservatisme ini menganggu Hati Suhita dalam bercerita. Saya jadi bertanya lagi, ini saya yang punya sensibilitas berbeda saja dengan demografi penonton film ini (toh, kebanyakan bilang ini film bagus) atau nilai ini (konservatisme) sungguhan menganggu sih?

Menurut saya, Hati Suhita punya pandangan yang sangat... lempeng terhadap semua hal. Ia entah baik atau buruk, benar atau salah, hitam atau putih. Sebuah pandangan yang mirip dengan sinetron atau FTV (yang tidak salah juga, tapi sinetron atau FTV tentu memiliki goal yang berbeda secara penceritaan dengan film bioskop). Lalu, mungkin karena ini film religi, ia mengambil pandangan yang baik hampir untuk semua karakter. Kita punya mertuanya Suhita yang digambarkan seperti kiriman surga: pendiri pesantren, selalu lembut, dan sangat menyayangi Suhita; kita punya mantan guru SMA Suhita yang di satu titik menjadi possible love interest-nya (agak eugh, I know, but he's honestly the better choice)--pun sama, sangat tampan, soleh, pintar pula!; Rengganis, rivalnya Suhita, juga wanita Muslim modern yang bisa menginspirasi rekan kampus, murid, dan jago bikin dokumenter; dan tentu saja, kita punya Suhita sendiri yang tidak memiliki kecacatan SAMA SEKALI.

Suhita sepenuhnya mengabdi kepada Gus Birru--dan keluarganya. Sebelum sosok patriarki (bisa Gus Birru atau Abbah) bersabda, Suhita sudah datang duluan dengan kebutuhan mereka, mau buku yang habis dia bereskan atau lauk makan malam. Suhita tidak pernah mengeluh kepada mertuanya atau Gus Birru karena ingin menjaga hati yang pertama dan membuat jatuh hati yang kedua. Ketika dia melihat Gus Birru bertelponan dengan Rengganis, dia baca Qur'an untuk menenangkan hatinya alih-alih bertanya langsung ada apa. Ketika dia melihat Gus Birru menyaksikan video ceramah Rengganis dengan kagum, dia menyambut Rengganis dengan sirup blewah dan makan malam full-course di rumahnya. Tidak usah Putri Majapahit, malaikat pun minder dengan Suhita.

Di sisi lain, kita punya Gus Birru yang begitu tega (setega nilai konservatisme memperbolehkan) memperlakukan Suhita dengan buruk. Dari awal film, yaitu hari pernikahan mereka, Gus Birru sudah bersikap hostile. Dia mengaku kepada Suhita bahwa dia menikahinya cuma untuk menyenangkan hati orang tuanya. Dia tidak mau tidur seranjang dan tidak akan menyentuh Suhita karena tidak cinta--yang sebenarnya permintaan wajar, tapi di sini saya ingin menunjuk penyampaiannya yang memperlihatkan bahwa dia sungguh TIDAK MENYUKAI Suhita, bahkan hampir benci. Saya sebagai penonton bertanya-tanya, kenapa? Suhita, secara harfiah, sempurna. Tidak ada dimensi lain.

Mungkin kamu agak bingung dan bilang, "Ya, karena dijodohinlah, Kur." Tebak apa? Suhita juga. Gus Birru bersikap seolah-olah Suhita memiliki andil dalam hal ini--dan saya juga jadi penasaran, maybe she is, you know, causing all of this. Jawabannya, tidak. Hati Suhati (astaga, maaf, Suhita--saya sengaja tinggalkan kesalahannya karena agak lucu haha) punya struktur cerita linear dengan serpihan flashback yang frekuensinya cukup sering, dan kita mengenal tokoh-tokoh film ini dari flashback tersebut. Dari awal sampai akhir cerita, perjodohan yang menjadi McGuffin, yang memicu plot keseluruhan film ini, adalah murni perbuatan kedua orang tuanya Gus Birru, jadi jika Gus Birru mau marah ke seseorang, itu adalah orang tuanya.

Inilah salah satu contoh bagaimana konservatisme mengganggu penceritaan film ini. Karena film ini sangatlah berkomitmen kepada dimensi "kebaikan" dan tidak ingin menggambarkan keburukan orang tuanya Gus Birru dalam bentuk apa pun atau dalam kata lain, memberikan mereka dimensi baru, ia tidak mau pula jujur dalam cerita yang dibuatnya: bahwa konflik utamanya adalah kesalahan kedua orangtuanya Gus Birru. Jika saja mereka hidup di tahun 2023 dan meninggalkan tradisi perjodohan, anak mereka tidak perlu menderita hingga menyakiti orang lain. Di salah satu adegan, Gus Birru yang sudah melakukan kesalahan besar kepada Suhita meminta maaf kepada orang tuanya sendiri, dan mereka menangis tersedu-sedu karena kecewa kepadanya. Film ini bersikap seolah-olah mereka sepatutnya dimintai maaf dan benar. Bagaimana kesalahan mereka karena merampas hak Gus Birru? Tidak pernah disentuh.

Hal ini juga menyakiti karakternya Gus Birru. Karena jika Gus Birru tidak punya alasan konkrit untuk membenci Suhita, maka alernatifnya, dia memperlakukan Suhita dengan buruk sebagai pelampiasan kebenciannya terhadap orang tuanya--dan ini menjadikannya seorang karakter yang jahat, apalagi ketika dia tidak mempelajari hal ini tentang dirinya sendiri sampai akhir film. Yang dia pelajari cuma Suhita adalah wanita yang baik untuk dijadikan istri (itu juga karena diberitahu orang-orang di sekitarnya)--sesuatu yang sudah jelas dari awal. Gus Birru cuma menyesal karena wanita yang baik meninggalkannya, bukan karena dia melakukan hal yang buruk kepadanya. Diperparah lagi, konklusi akhir film ini adalah dia dan Suhita hidup bahagia selamanya, yang membuat saya sebagai penonton bersedih untuk Suhita.

Apabila mereka berintensi akhir ini adalah akhir yang baik untuk Suhita, mereka seharusnya bekerja lebih baik untuk membuat saya menyukai Gus Birru dan menyetujuinya sebagai pendamping Suhita. Saya tidak kenal Gus Birru. Saya cuma tahu dia jahat, titik. Ada satu saat di mana Gus Birru HAMPIR menjelaskan mengapa dia sangat marah kepada Suhita: dia mengira Suhita mengincar kedudukan kepala sekolah di pesantren yang didirikan orang tuanya, tapi, apakah itu sesuai dengan karakternya sejauh ini? Apakah Gus Birru bahkan peduli dengan pesantren orang tuanya? Kita melihat dia mengajar di sana, tapi tidak pernah sekali pun dia menunjukkan hasrat terhadapnya. Yang kita tahu justru bahwa salah satu passion-nya adalah kafenya, hal yang ditentang Abbah-nya--dan bahkan konflik yang timbul dari kafe ini cuma alat saja untuk membuat Suhita yang sudah baik bahkan lebih baik lagi karena itu Suhita pakai untuk mempersatukan Gus Birru dengan Abbah-nya. Selain ini, kita cuma tahu bahwa Gus Birru masih mencintai Rengganis, itu saja. Proses bagaimana dia akhirnya menganggap Suhita sebagai manusia, lalu menyukainya secara romantis juga tidak diperlihatkan. Sekonyong-konyong, Gus Birru mengajak Suhita makan siang setelah Suhita meminta pulang kampung, lalu musik memberikan sinyal kepada penonton bahwa ini adalah momen romantis. Pembuat film ini tidak terlalu peduli dengan Gus Birru, lalu mengapa saya harus peduli juga?

Dengan konklusi ini, saya jadi berpikir, kenapa jadi gini, ya? Mantan guru SMA-nya Suhita jelas-jelas pilihan yang lebih baik untuk Suhita, melajang juga pilihan yang lebih baik untuk Suhita. Saya jadi tidak punya kesimpulan lain selain bahwa film ini ingin mempertahankan nilai-nilai konservatisme: keluarga nuklir (dengan "benih Gus Birru" yang ditanam di rahim Suhati--ini frasa yang sungguh-sungguh diucapkan di filmnya, omong-omong), istri harus mematuhi suami dan bersabar dalam penderitaan, say no to perceraian, dsb. karena ya, thesis statement saya di atas: eskapisme. Mungkin di dunia nyata, mereka terjebak dalam situasi ini, dan film-film semacam ini adalah outlet mereka untuk merasakan skenario yang lebih baik, dan maka dari itu, Suhati dan Gus Birru tidak keluar dari pernikahannya karena mereka juga tidak keluar dari pernikahan mereka. Lalu, saya sedih.

Oh, saya bahkan belum membahas elemen feminisme yang ditempel di film ini. Suhita bilang, essentially to us, the audience, bagaimana pesantren mertuanya memiliki kesetaraan gender, bentuknya seperti apa kita tidak pernah lihat, yang jelas katanya kalau ada debat ilmiah, laki-laki dan perempuan sudah bisa saling debat. Lalu, Suhita disama-samakan dengan Putri Majapahit, tapi perangnya adalah perang memenangkan hati Gus Birru--atau semacamnya, kurang menangkap juga saya. Suhita disebut-sebut oleh tokoh lain sebagai wanita tangguh, tapi di sepanjang film, jelas ada batas yang dia tidak akan lewati dalam memiliki pendirian yang berbeda dengan suaminya, batas yang lagi-lagi dijaga oleh konservatisme. Ah, ya sudahlah, ini pembahasan untuk lain hari.

Komentar

  1. Keren review-nya. Saya belum nonton film ataupun baca novelnya, tapi membaca review ini, saya tidak dihantui lagi bagaimana film yang digadang-gadang itu akan memberikan sesuatu yang menarik. Yah, seperti kesimpulan review ini, kalau misalkan Gus Birru tidak melakukan sesuatu yang membuat penonton peduli padanya, bagaimana ia bisa tiba-tiba saja peduli pada Suhita?

    Nontonnya kapan2 aja aaah🤭

    BalasHapus
  2. Keren dan berani sih. Karena kemarin review filmnya saja dan masih memuji ceritanya, udah diserang bala2nya. Tapi, saya sudah baca novelnya. Saya nggak dapat makna RELIGIUS di ceritanya. Yang ada hanya masalah romansa dan himpitan yang terkesan sangat dipaksakan. Kurang relate menurut saya. Gagasan yang masih bisa dibantah. Sangat2 bisa.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer