Review: Final Destination 3 (2006)
A Love Letter to Slasher Movies
oleh Kurnia Cahya Putra
Final Destination 3 (2006)
Disutradarai James Wong
Dibintangi Mary Elizabeth Winstead, Ryan Merriman
Produksi New Line Cinema 2006
Setelah pesawat dan jalan tol, Anda pasti penasaran tempat macam apa yang cukup familiar untuk dikunjungi banyak orang tetapi sarat dengan mara bahaya dari segala arah sehingga mampu menbangkitkan rasa takut dan gelisah. Final Destination 3 menjawabnya dengan roller coaster--dan menyelipkan sedikit ironi dengan memberi nama wahana ini sebagai Wahana Petaka sekaligus memberikan titik perubahan pada franchise ini untuk akhirnya menerima dengan tangan terbuka aspek campy-nya.
Adalah Wendy Christensen (Winstead) yang mendapat banyak firasat aneh sebelum menaiki roller coaster tersebut bersama teman-teman angkatannya untuk merayakan masa kelulusan. Wendy berusaha mengabaikannya karena dia sadar dia seorang control freak dan bertendensi untuk berlebihan, namun begitu dia sudah berada di atas sana, sebuah kecelakaan mengerikan sungguh terjadi dan menewaskan teman-temannya dalam berbagai macam cara yang sadis. Untungnya, itu ternyata sebuah penglihatan. Wendy memperingatkan teman-temannya, membuat keributan sehingga beberapa dari mereka terpaksa turun. Tentu saja, sebagaimana Final Destination lainnya, penglihatannya menjadi kenyataan. Mengira telah lolos, Wendy tak menyangka ketika teman-temannya yang selamat juga mulai gugur satu per satu seperti lalat setelah insiden tersebut. Wendy pun sampai pada kesimpulan bahwa ada hal supernatural yang sedang terjadi, dan dia harus mencari cara untuk mengalahkannya sebelum dia dikalahkan lebih dulu.
Seri Final Destination sudah menarik perhatian saya semenjak pertama kali muncul. Setelah film slasher berbumbu meta yang berusaha keras mengulang kesuksesan Scream meramaikan tahun '90-an dan awal 2000-an, hadirlah sebuah film slasher (in a way) yang memiliki ide orisinil dan tak hanya itu, juga sukses berkembang di sekuel pertamanya. Saya tentu bersemangat untuk mengetahui bagaimana mereka bisa melampauinya, atau bahkan sekedar mempertahankannya di sekuel keduanya--apalagi ketika sutradara film pertamanya kembali untuk mengemban film ini. Begitu saya menonton, saya cukup terkejut ketika Final Destination 3 ternyata adalah film yang cukup berbeda dari kedua film pendahulunya (bukan dalam aspek slasher-nya, tentu).
Final Destination pertama dan kedua adalah sebuah film suspense murni dengan guyonan sesekali yang dimanfaatkan agar para penonton bisa bernapas sedikit di antara ceceran darah dan potongan tubuh. Final Destination 3, di lain hal, membuang usaha dari kedua film pertama untuk serius dan hanya bersenang-senang! Ia tidak peduli dengan pengembangan karakter, dialog filosofis (Tony Todd tidak muncul di film ini), dan sebagainya. Dari besarnya elemen camp-nya, penonton bisa menarik kesimpulan bahwa dalam beberapa hal, film ini adalah sebuah satir. Ambil contoh tokoh-tokohnya: mereka jelas sengaja dibuat untuk memarodikan stereotip yang sering hadir dalam tokoh-tokoh film slasher seperti si jock yang angkuh, gadis-gadis seksi yang dangkal, pasangan outsider (goth pula), serta final girl yang kokoh tapi rapuh. Tapi, ada semacam underlying feeling yang film ini juga punya yang membuat saya merasa bahwa ini bukan bertujuan untuk mengolok film-film formulaic tersebut, melainkan merayakannya. Melalui eksekusinya, film ini tidak pernah look down pada trope-trope tersebut, tetapi lebih menyenggol sikut penggemarnya selagi bilang, "Hehe... lo paham, kan?" sehingga menjadikannya tontonan yang sangat approachable, seperti The Cabin in the Woods yang datang beberapa tahun setelahnya.
Dari segi horornya sendiri, film ini juga mampu bersanding dengan dua film sebelumnya, namun tentu saja, dengan bumbu over-the-top yang juga menggelitik. Kini, para penulis naskah seakan memulai pertemuan mereka dengan satu pertanyaan di papan tulis: apa cara membunuh yang paling kreatif? Sebagai penggemar blood and carnage, saya sungguh terpuaskan dengan berbagai inovasi yang film ini berikan dan pengeksekusiannya yang apik. Beberapa di antaranya adalah kematiannya Ashley dan Ashlyn dalam tanning bed yang meskipun dipicu oleh hal yang bodoh, masih amat menyayat pandangan, adegan kematiannya Erin yang tertembak-tembak paku dan membuat saya sedikit mual, atau mungkin adegan kematiannya Lewis yang membuat saya tertawa. There's one of everything. Musik gubahan Shirley Jones juga kembali menyelimuti adegan-adegan tersebut, meningkatkan ketegangan sekaligus memberikan identifikasi bahwa ini adalah film Final Destination.
Kekurangan terbesar dari film ini adalah adegan penglihatannya sendiri. Final Destination pertama memiliki pembangunan atmosfer yang luar biasa dan shot akhir yang sangat kuat: Alex yang terjilat kobaran api. Final Destination 2 memiliki adegan kecelakaan di jalan tol dengan koreografi dan staging yang sungguh menegangkan dari awal hingga akhir. Film ini tidak memiliki pembangunan yang sekuat film pertama, dan adegan kecelakaannya sendiri terlalu dipenuhi dengan SFX yang at best, hanya not bad. Ilusi wire (untuk menggantung aktor) yang tak hilang di berbagai titik, logika adegan yang aneh, kematian-kematian yang tidak inovatif (kebanyakan jatuh satu persatu dari roller coaster-nya) serta CGI yang amat kasar membuat adegan ini tidak mencapai potensi penuhnya.
Menilai Final Destination 3 dalam perbandingan dengan film-film sebelumnya adalah hal yang cukup sulit karena mereka film yang berbeda. Apabila saya harus melakukannya, mungkin saya akan menaruhnya dalam urutan ketiga karena saya secara pribadi memang lebih suka horor yang sedikit lebih serius, namun sebagai film tersendiri, Final Destination 3 adalah sajian sebuah surat cinta untuk film slasher. 7.5/10.
Final Destination pertama dan kedua adalah sebuah film suspense murni dengan guyonan sesekali yang dimanfaatkan agar para penonton bisa bernapas sedikit di antara ceceran darah dan potongan tubuh. Final Destination 3, di lain hal, membuang usaha dari kedua film pertama untuk serius dan hanya bersenang-senang! Ia tidak peduli dengan pengembangan karakter, dialog filosofis (Tony Todd tidak muncul di film ini), dan sebagainya. Dari besarnya elemen camp-nya, penonton bisa menarik kesimpulan bahwa dalam beberapa hal, film ini adalah sebuah satir. Ambil contoh tokoh-tokohnya: mereka jelas sengaja dibuat untuk memarodikan stereotip yang sering hadir dalam tokoh-tokoh film slasher seperti si jock yang angkuh, gadis-gadis seksi yang dangkal, pasangan outsider (goth pula), serta final girl yang kokoh tapi rapuh. Tapi, ada semacam underlying feeling yang film ini juga punya yang membuat saya merasa bahwa ini bukan bertujuan untuk mengolok film-film formulaic tersebut, melainkan merayakannya. Melalui eksekusinya, film ini tidak pernah look down pada trope-trope tersebut, tetapi lebih menyenggol sikut penggemarnya selagi bilang, "Hehe... lo paham, kan?" sehingga menjadikannya tontonan yang sangat approachable, seperti The Cabin in the Woods yang datang beberapa tahun setelahnya.
Dari segi horornya sendiri, film ini juga mampu bersanding dengan dua film sebelumnya, namun tentu saja, dengan bumbu over-the-top yang juga menggelitik. Kini, para penulis naskah seakan memulai pertemuan mereka dengan satu pertanyaan di papan tulis: apa cara membunuh yang paling kreatif? Sebagai penggemar blood and carnage, saya sungguh terpuaskan dengan berbagai inovasi yang film ini berikan dan pengeksekusiannya yang apik. Beberapa di antaranya adalah kematiannya Ashley dan Ashlyn dalam tanning bed yang meskipun dipicu oleh hal yang bodoh, masih amat menyayat pandangan, adegan kematiannya Erin yang tertembak-tembak paku dan membuat saya sedikit mual, atau mungkin adegan kematiannya Lewis yang membuat saya tertawa. There's one of everything. Musik gubahan Shirley Jones juga kembali menyelimuti adegan-adegan tersebut, meningkatkan ketegangan sekaligus memberikan identifikasi bahwa ini adalah film Final Destination.
Kekurangan terbesar dari film ini adalah adegan penglihatannya sendiri. Final Destination pertama memiliki pembangunan atmosfer yang luar biasa dan shot akhir yang sangat kuat: Alex yang terjilat kobaran api. Final Destination 2 memiliki adegan kecelakaan di jalan tol dengan koreografi dan staging yang sungguh menegangkan dari awal hingga akhir. Film ini tidak memiliki pembangunan yang sekuat film pertama, dan adegan kecelakaannya sendiri terlalu dipenuhi dengan SFX yang at best, hanya not bad. Ilusi wire (untuk menggantung aktor) yang tak hilang di berbagai titik, logika adegan yang aneh, kematian-kematian yang tidak inovatif (kebanyakan jatuh satu persatu dari roller coaster-nya) serta CGI yang amat kasar membuat adegan ini tidak mencapai potensi penuhnya.
Menilai Final Destination 3 dalam perbandingan dengan film-film sebelumnya adalah hal yang cukup sulit karena mereka film yang berbeda. Apabila saya harus melakukannya, mungkin saya akan menaruhnya dalam urutan ketiga karena saya secara pribadi memang lebih suka horor yang sedikit lebih serius, namun sebagai film tersendiri, Final Destination 3 adalah sajian sebuah surat cinta untuk film slasher. 7.5/10.
ea,,,,ea., ,, ea, , , ,
BalasHapushahaha........saya sudah lihat filmnya......seru dan menegangkan bgt.......
BalasHapussaya paling suka ketika kepala Lewis(kalo nggak salah) pecah karena terjepit beban Gym